Minggu, 09 Mei 2010

Kecil-kecil jadi Mufti

Suatu hari, di Masjidil Haram seorang guru tengah menyampaikan ilmu kepada murid-muridnya. Dengan lugas, jelas dan komunikatif, guru tersebut mengajarkan materi fiqh, muamalah, jinayah dan hukum-hukum kriminal.

Namun ada yang ganjil dalam majelis itu, ternyata Pak Guru jauh tampak lebih muda daripada murid-muridnya. Bahkan di tengah prosesi belajar mengajar, ia sempat meminta izin untuk minum, padahal siang itu adalah bulan Ramadhan. Kontan saja "ulah" Pak Guru menuai protes. "Kenapa Anda minum, padahal ini 'kan bulan Ramadhan?", tanya para murid. Ia menjawab, "Aku belum wajib berpuasa."

Siapakah Pak Guru yang terlihat nyeleneh tersebut? Ia adalah Muhammad Idris Asy Syafi'i, yang lebih kita kenal dengan Imam Syafi'i.

Kita tak usah heran dengan fragmen ini, karena pada usia belum baligh Imam Syafi'i sudah menjadi ulama yang disegani. Usia sembilan tahun sudah hafal Al-qur'an. Usia sepuluh tahun isi kitab Al Muwatha' karya Imam Malik yang berisi 1720 hadist pilihan juga mampu di hafalnya dengan sempurna. Pada usia 15 tahun telah menduduki jabatan mufti (semacam hakim agung) kota Makkah, sebuah jabatan prestasius pada masa itu. Bahkan di bawah usia 15 tahun, Imam Syafi'i sudah di kenal mumpuni dalam bidang bahasa dan sastra Arab, hebat dalam membuat sya'ir, jago qiraat, serta di akui memiliki pengetahuan yang luas tentang adat istiadat Arab yang asli. Subhanallah.

Raih Cita-Cita Akhirat

"Kini jiwa ini merindukan surga..." (Umar bin Abdul Aziz)

Kini kita semakin jauh melangkah. Bila anda telah memiliki cita-cita untuk dunia, seperti ungkapan "Bekerjalah untuk duniamu seolah-olah engkau akan hidup selamanya..." Berikutnya mari kita raih cita-cita akhiratnya, "... Beribadahlah untuk akhiratmu seolah-olah engkau akan mati besok pagi."

Mati? Ya kita semua pasti akan mati. Karenanya yang penting bukan mengapa kita mati dan kapan kita undur diri, tetapi bagaimana kita mati dan mempersiapkan diri? Sebab rasa mati itu sama, tapi sebabnya beragam, nilainya berbeda. Ada yang syahid karena taat, ada yang 'sangit' karena gosong dalam maksiat. Ada yang mulia karena takwa, dan banyak yang hina karena angkara.

Cita-cita akhirat inilah puncak kita untuk beristirahat. Seperti kata Imam Ahmad saat di tanya kapan seorang mukmin itu istirahat? "Saat ia menginjakkan kakinya di surga." Jawab beliau.

Abdul Aziz bin Abi Rawwad menghadap Mughirah bin Hakam saat ia sakit menjelang ajalnya, lalu Abdul Aziz berkata, "Beramallah untuk menghadapi peristirahatan ini yakni kematian." Wassalam.

Keutamaan menjaga sholat Fardhu

Allah akan memuliakan orang yang menjaga sholat fardhunya dengan sembilan keutamaan:
1. Dia dicintai Allah,
2. Badannya selalu sehat,
3. Keberadaannya selalu dijaga malaikat,
4. Rumahnya diberkahi,
5. Wajahnya menampakkan jati diri seorang shalih,
6. Hatinya dilunakkan oleh Allah,
7. Dia akan menyebrang jembatan shirath seperti kilat,
8. Dia akan diselamatkan Allah dari api neraka,
9. Allah akan menempatkannya di syurga bertetangga dengan orang-orang yang tidak ada rasa takut bagi mereka dan tidak pula bersedih hati.
(Utsman bin Affan radhiallahu 'anhu)

Memberi Manfaat Semaksimal Kemampuan

"Barangsiapa di antara kamu yang mampu memberikan manfaat kepada saudaranya, maka hendaklah ia bersegera memberikan manfaat kepadanya." (HR. Muslim dari Jabir ra)

Pada dasarnya kita semua memiliki kemampuan memberi manfaat kepada orang lain. Akan tetapi, seringkali kita tidak memiliki kemauan untuk memberikannya, karena sifat kikir dan egois yang ada pada diri kita. Sehingga dalam hadist di atas, Nabi Muhammad, saw. menyerukan agar kita menjadi orang yang memiliki kemauan untuk memberikan kemanfaatan kepada orang lain, dan bersegera memberikan sesuatu yang berarti bagi orang lain semaksimal kemampuan yang kita miliki.

Allah berfirman,
"Maka berlomba-lombalah kamu dalam berbagai kebaikan." (QS. Al-Baqarah: 148)